Suatu sore aku tengah asik
menyantap hidangan dengan seorang sahabat di sebuah café di kawasan pantai kota
Padang. Tiba – tiba muncul seorang anak kecil tengah menggendong bayi
menghampiri meja kami. Dia menyodorkan sebuah kantong plastik lusuh ke arahku.
“ Sidakah Ni,” ujarnya
dengan tampang dan suara memelas.
“ Maaf lu Diak,” kataku.
Namun anak itu tak mau pergi
setelah aku mengucapkan maaf karena tidak bisa memberinya uang. Aku seketika
menghentikan aktivitas makanku dan memandang kedua bocah itu dengan seksama.
Bocah perempuan kira-kira berumur tujuh tahun dengan seorang bayi laki-laki
sekitar satu tahunan di pangkuannya. Mereka terlihat kumal dan dekil. Pakaian
lusuh membalut kedua tubuh mungil ini. Wajah dan rambut mereka kotor, seperti
sudah beberapa hari tidak mandi. Atau memang sengaja didandani sekucel mungkin,
supaya orang lain meresa kasihan.
“ Agiahlah Ni, kami dari pagi
alun makan,” seru anak itu sambil memegang perutnya dan tetap menyodorkan
kantong plastiknya ke arah sahabatku.
“Kasih deh Pid, gue gak punya receh
nih,” ujar sahabatku.
Aku menggeleng.
“ Yah pelit banget sih elo. Kasih
gopek aja. Biar pergi ni anak.”
“ Kamu lapar?” tanyaku pada anak
perempuan itu.
“ Iya,” jawabnya singkat.
“ Mau makan?”
Dia menggeleng. “Kasih uang aja
Ni,” ujarnya.
“Lho katanya tadi kamu dan adikmu
belum makan, sini makan sama Uni!” aku menimpali.
Dia diam. Ragu – ragu memandang aku
dan sahabatku.
“ Apa – apan sih lo?” Sahabatku
protes.
“ Udah, lo tenang aja. Biar gue
yang ngurus,” kataku.
“Ayo sini duduk!” aku menyuruh anak
itu duduk di meja kami.
Dia menuruti kata-kataku. Dia duduk
di bangku yang masih kosong dan mendudukkan sang adik di sebelahnya.
Aku memesankan makanan untuk dua
orang anak kecil ini. Aku dan sahabatku melanjutkan makan kembali. Kami
menyantap hidangan di atas meja itu.. Mereka makan dengan lahap sepertinya
sangat menikmati hidangan ini. Selama makan aku menyerbunya dengan beberapa
pertanyaan. Dia menjawabnya dengan polos. Dari pertanyaan yang aku lontarkan,
aku mendapat beberapa informasi miris tentang mereka.
Anak perempuan itu berumur delapan
tahun dan adiknya lelakinya berumur satu tahun tiga bulan. Dia tidak sekolah.
Kegiatan sehari – hari meminta – minta di mana ada kempatan. Mereka masih punya
orang tua. Sang ayah pergi meninggalkan rumah setahun yang lalu dan sampai saat
ini tidak jelas kemana rimbanya. Sehingga mereka hidup dengan meminta belas
kasihan orang lain. Saat ku tanya kenapa dia mengemis. Dengan polos dia
menjawab, “ karena di suruh Ibu nyari uang buat makan. Ibu juga ngemis.”
Bukannya aku kikir menyumbangkan
duit recehku pada pengemis. Tapi aku tak ingin terlibat memberi andil dalam
menciptakan manusia – manusia malas dan bermental pengemis. Lihatlah sudah
berapa banyak pengemis bergentayangan di setiap sudut negeri ini. Dari segala
jenis usia. Bukan hanya orang dewasa, anak- anak pun sering menjadi di jadikan
lahan untuk mencari keuntungan. Bahkan kondisi fisik pun tidak lagi dipandang
sebagai alasan mengemis. Tidak hanya orang cacat, orang bertubuh normal, sehat,
dan segar bugar pun sudi menjadikan pengemis sebagai profesinya. Cukup dengan
berpakaian lusuh,bertubuh kumal, menyetel wajah penuh belas kasihan, dan sebuah
kaleng. Duduk di pinggiran jalan atau mendatangi orang-orang. Menunggu uluran
tangan dari orang-orang yang bersedia memberi.
Kita sering berpikir, gak
apa-apalah memberi pengemis itu uang. Lagian nilainya juga kecil gak ngaruh
sama uang saku. Sekalian sedekah. Nilai uang yang kita berikan
memang tidak material, lima ratus
atau seribu rupiah apalah artinya untuk zaman sekarang yang serba mahal. Tapi
coba pikir, pengemis itu gak hanya meminta pada satu orang aja kan? Kalo di
kalkulasikan berapa jumlah yang bisa didapat dari mengemis dalam satu bulan,
lumayan besar.
Sedikit demi sedikit, lama lama
menjadi bukit. Masih ingat peribahasa ini kan. Kasus pekerjaan mengemis ini
dapai kita andaikan sebagai peribahasa tersebut. Anggap saja dalam sehari itu
orang yang mau menyumbangkan uangnya ada 100 orang dengan nominal Rp 500 per
orang. Berapa penghasilan mereka sebulan? Hitung – hitungannya begini 100 orang
x Rp 500 x 30 hari = Rp 1.500.000. Wow. Gaji buruh yang banting tulang tiap
hari saja tidak sampai sebesar itu. Untuk sebuah pekerjaan yang “ tanpa usaha”
, gaji yang menggiurkan bukan?
Rasa iba dan tidak tega sering
membuat kita tidak menyadari bahwa secara tidak langsung kita telas memberi
mereka kesempatan untuk memdapatkan hasil dengan jalan pintas tanpa berusaha.
Dengan memberi mereka uang, kita tidak membantu malah menjerumuskan mereka
menjadi orang malas. Akan seperti apa negara ini, jika generasinya dipenuhi
oleh orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada orang lain. Generasi
bermental lemah dan kalah pada persaingan hidup. Mereka sudah nyaman dengan
kondisi seperti itu, sehingga tidak mau bekerja. Uang yang diterima membuat
mereka enggan untuk merubah nasib. Pendidikan pun tidak lagi dipedulikan, yang
penting bagaimana mendapatkan uang hari ini. Persetan dengan masa depan. Sikap
ini turun temurun, orang tua menanamkan perilaku hidup meminta-minta pada
anaknya dari kecil. Bibit terbelakang sudah ada semenjak dini.
Lalu siapa yang dapat merubah
kondisi ini? Jangan selalu harapkan pemerintah. Pemerintah seperinya sudah
bosan dengan penyakit sosial yang satu ini. Berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah untuk mengurangi pengemis, tetap saja angkanya bertambah. Karena
tanpa sadar kita telah membiarkan mereka merajalela dengan uang receh yang kita
berikan. Tentu orang yang patut mengubah kondisi ini adalah kita. Orang yang
diberi sedikit kelebihan dalam berpikir. Mereka ada karena kita memberikan
peluang. Jangan biarkan mereka tetap terpuruk dan berada di zona nyaman itu
dengan memberi mereka uang. Sedekah bukan hanya dengan cara itu kan? Jadikan
sedekahmu itu sebagai amal jariyah yang pahalanya tetap mengalir walaupun kamu
sudah tiada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar