Asni dan Mirah
Diceritakan kembali oleh Samsuni
Asni dan Mirah adalah dua pendekar
silat dari Betawi (Jakarta). Keduanya tidak saling mengenal. Asni menetap di
daerah Kemayoran (Jakarta Pusat), sedangkan Mirah tinggal di daerah Marunda
(Jakarta Utara). Asni mempunyai seorang saudara seayah namun lain ibu. Tirta,
nama saudara tiri Asni itu, juga seorang pendekar silat yang bertempat tinggal
di Karawang. Antara Tirta dan Mirah telah saling mengenal. Bahkan, Tirta
ternyata jatuh hati kepada gadis yang cantik dan sakti itu. Namun, nasib
ternyata berkata lain. Pada akhirnya ternyata Asni yang berhasil memperistri
Mirah. Bagaimana kisahnya sehingga bukan Tirta yang mendapatkan cinta Mirah?
Ikuti kisahnya dalam cerita Asni dan Mirah berikut ini.
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu di Betawi
masih terdapat banyak pendekar silat. Dua di antaranya yang cukup terkenal
adalah Tirta dan Asni. Kedua pemuda itu adalah kakak beradik, tapi lain ibu.
Meskipun bersaudara, namun Asni tidak mengetahui jika ia punya saudara tiri
bernama Tirta, sementara Tirta sendiri sudah tahu hal ini dari ibunya. Tirta
tinggal bersama ibunya di Karawang, sebuah daerah di tepi kota, sedangkan Asni
tinggal bersama ayahnya di Kemayoran.
Tirta dan Asni memiliki perbedaan sifat
yang terlihat pada perilaku sehari-hari mereka. Tirta tumbuh menjadi pemuda
berandalan. Keahlian beladirinya digunakan untuk membuat kekacauan. Bahkan,
Tirta suka merampok dan mencuri. Hasil curiannya ia gunakan untuk mabuk-mabukan
bersama teman-temannya. Sementara itu, Asni tumbuh menjadi pemuda yang berbudi
luhur. Meskipun berilmu tinggi, ia tetap santun, rendah hati, dan suka
menolong. Tidak mengherankan jika Asni sangat disegani dan namanya menjadi
cukup terkenal.
Suatu malam, warga Kemayoran
digemparkan oleh sebuah peristiwa perampokan di sebuah rumah orang kaya bernama
Babah Yong. Harta bendanya dibawa kabur oleh kawanan perampok. Para centeng
(satpam) pun terkapar tak berdaya saat menghadapi kawanan perampok tersebut.
Mendengar kabar itu, penguasa Kemayoran
yang bernama Tuan Ruys, Bek (Kepala Kampung) Kemayoran, dan para opas
(agen polisi) segera mendatangi rumah Babak Yong untuk melakukan penyelidikan.
Setelah mengamati bekas-bekas perampokan itu, Tuan Ruys pun menduga bahwa
pelaku perampokan itu adalah orang yang sakti mandraguna.
“Hmm… aku yakin pelakunya bukanlah
orang biasa. Hanya orang berilmu tinggilah yang mampu mengalahkan para centeng
Babah Yong,” kata Tuan Ruys.
Dengan dugaan itu, penguasa Kemayoran
itu langsung teringat pada Asni.
“Ya, siapa lagi kalau bukan Asni. Hanya
dialah orang sakti di daerah ini,” gumam Tuan Ruys.
Tanpa berpikir panjang, Tuan Ruys
segera memerintahkan Kepala Kampung Kemayoran untuk menangkap Asni. Namun,
kepala kampung itu menolak karena ia tidak yakin jika Asni pelakunya.
“Maat, Tuan Ruys. Saya yakin bukanlah
Asni pelakunya. Saya sangat mengenal sifat dan perilakunya,” sanggah sang
kepala kampung.
“Kalau begitu, coba tunjukkan siapa
lagi pendekar sakti di Kemayoran ini selain Asni!” ujar Tuan Ruys.
Rupanya, Kepala Kampung Kemayoran tidak
bisa menunjukkan bukti sebagaimana yang diminta Tuan Ruys. Akhirnya pada malam
itu, ia bersama para opas segera menangkap Asni dan memasukkannya ke
dalam penjara. Asni yang merasa tidak bersalah pun menolak untuk dipenjara.
“Maaf, barangkali tuan-tuan keliru
menuduh saya sebagai pelaku perampokan itu. Saat peristiwa itu terjadi saya
sedang berada di rumah,” Asni membela diri.
Mendengar pembelaan Asni, akhirnya
Kepala Kampung Kemayoran memerintahkan para opas untuk memanggil keluarga
dan tetangga Asni untuk dijadikan saksi. Setelah mendapat beberapa pertanyaan,
mereka pun memberikan kesaksian bahwa memang benar Asni sedang berada di rumah
saat peristiwa perampokan itu terjadi.
“Dugaanku ternyata benar,” kata Bek
Kemayoran dalam hati.
Akhirnya Asni pun dibebaskan tapi
dengan syarat ia harus menangkap pelaku perampokan itu.
“Jika kamu gagal menangkap perampok
itu, maka kamu akan kembali dipenjara,” ancam Tuan Ruys.
Meskipun keputusan itu tidak adil
baginya, Asni pun menerima dengan lapang dada. Ia merasa bahwa menjaga keamanan
Kemayoran juga termasuk tanggung jawabnya. Keesokan harinya, ia mulai mencari
pelaku perampokan yang menyatroni rumah Babah Yong. Karena yakin perampok itu
bukanlah warga Kemayoran, ia pun melakukan pencarian hingga ke kampung-kampung
lain. Salah satunya adalah Kampung Marunda karena ia tahu bahwa kampung itu
terkenal memiliki pendekar sakti bernama Bang Bodong,.
Bang Bodong mempunyai seorang putri
yang cantik dan mahir bersilat bernama Mirah. Mira adalah idola bagi setiap
pemuda di Marunda. Bahkan, sudah banyak pemuda yang datang melamarnya, namun
belum seorang pun yang diterima karena tidak memenuhi syarat yang diajukan
Mirah. Syarat itu adalah harus mengalahkan kesaktian Mirah.
Sementara itu, Asni yang hendak
memasuki Kampung Marunda tiba-tiba mendapat teguran dari para penjaga kampung
karena tidak melapor.
“Hai, anak muda! Berani-beraninya kamu
masuk ke daerah kami tanpa izin,” hardik seorang penjaga.
“Masa siang-siang begini harus
melapor,” jawab Asni.
Mendengar jawaban itu, para penjaga
kampung menjadi tersinggung karena merasa tidak dihargai. Akhirnya, terjadilah
pertkelahian antara Asni dengan beberapa orang penjaga kampung. Dengan
ketinggian ilmu silatnya, Asni dapat merobohkan para penjaga itu dengan mudah.
Salah satu penjaga kampung kemudian melapor kepada Bang Bodong.
“Bang, ada pengacau yang masuk ke
kampung kita!” lapor penjaga itu.
Tanpa banyak tanya, Bang Bodong bersama
Mirah segera menuju ke tempat kejadian. Saat bertemu dengan Asni, Bang Bodong
langsung menyerang pemuda itu. Betapa terkejutnya ia karena serang-serangannya
dapat dipatahkan dengan mudah oleh Asni. Merasa dipermalukan, Bang Bodong
mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya. Meskipun umurnya sudah tua, pendekar
Marunda itu masih sangat lincah bergerak sehingga Asni harus bersusah payah
berkelit ke sana ke mari untuk menghindar.
Setelah beberapa lama pertarungan itu
berlangsung, Bang Bodong mulai kelelahan. Begitu ia lengah, Asni langsung
melayangkan sebuah tendangan keras tepat mengenai lambung kirinya. Tak ayal,
pendekar Marunda itu pun jatuh terpental ke tanah dan tidak bisa melanjutkan
pertarungan.
Melihat ayahnya kalah, Mirah langsung
menyerang Asni. Pertarungan antara kedua pendekar itu tampak seimbang meskipun
pada akhirnya Mirah harus mengakui kesaktian Asni. Saat melihat putrinya kalah,
Bang Bodong justru tertawa terbahak-bahak.
“Ha…ha… ha… !”
“Ayah, kenapa menertawaiku seperti
itu?” tanya Mirah dengan bingung.
“Akhirnya datang juga jodohmu, anakku,”
kata Bang Bodong dengan nada menggoda.
“Apa maksud, Ayah?” Mirah kembali
bertanya.
Bang Bodong segera bangkit lalu
mendekati putrinya.
“Putriku, apakah kamu sudah lupa dengan
janjimu? Bukankah kamu pernah berjanji bahwa jika ada pemuda yang mengalahkanmu
maka dialah yang akan menjadi jodohmu?” jelas Bang Bodong mengingatkan
putrinya.
Mendengar penjelasan itu, Mirah lalu
tersenyum malu-malu. Bang Bodong pun kemudian menyapa Asni.
“Maaf, anak muda. Kamu siapa dan apa
maksud kedatanganmu ke Marunda?” tanya Bang Bodong kepada Asni.
Asni pun memperkenalkan diri dan
menjelaskan maksud kedatangannya Setelah mendengar penjelasan Asni, Bang Bodong
meminta pendapat Asni mengenai janji yang telah dibuat putrinya.
“Ketahuilah, Asni! Putriku pernah
membuat janji bahwa siapa pun pemuda yang berhasil mengalahkannya, maka dialah
yang berhak menjadi suaminya,” ungkap Bang Bodong seraya bertanya kepada Asni,
“Apakah kamu bersedia menikah dengan putriku?”
Pucuk dicinta ulam
pun tiba, maksud hati ingin menangkap perampok,
Asni malah mendapat gadis cantik dan sakti. Maka, tak ada alasan bagi Asni
untuk menolak tawaran itu. Akhirnya, Asni dan Mirah pun menikah. Sebelum
pernikahan mereka dilangsungkan, Bang Bodong dan putrinya juga bersepakat untuk
membantu Asni mencari perampok itu.
Setelah melakukan penyelidikan, mereka
menemukan bukti bahwa perampok itu adalah Tirta yang berasal dari Karawang.
Bang Bodong sendiri kenal dengan Tirta karena Tirta beberapa kali berusaha
mendapatkan cinta putrinya, yakni Mirah. Namun, mereka sulit menangkap Tirta
karena keberadaannya tidak diketahui. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Bang
Bodong menemukan sebuah cara.
“Satu-satunya cara untuk menangkap
Tirta adalah menjebaknya dalam pesta pernikahan kalian,” kata Bang Bodong.
“Maksudnya?” tanya Asni bingung.
“Begini Asni. Tirta itu sangat
mencintai Mirah. Aku yakin, dia pasti datang dalam pesta pernikahan kalian,”
jelas Bang Bodong.
Setelah itu, mereka pun segera
melakukan persiapan-persiapan secara matang, termasuk mengirim undangan kepada
Tirta di rumahnya. Selain itu, mereka juga bekerjasama dengan Bek
Kemayoran dan Tuan Ruys dengan mengundang mereka ke pesta tersebut.
Beberapa hari kemudian, pesta
pernikahan Asni dan Mirah dilangsungkan di kediaman Bang Bodong. Tampak para
undangan mulai berdatangan, termasuk Bek Kemayoran dan Tuan Ruys yang lengkap
dengan senjatanya. Tak berapa lama kemudian, Tirta pun tiba dan duduk di
barisan kursi paling belakang. Namun, Tirta agak curiga karena ia melihat Bek
Kemayoran dan Tuan Ruys juga hadir dalam pesta itu dan duduk sejajar dengannya.
Sesekali, kedua penguasa dari Kemayoran itu melirik kepada Tirta.
Menyadari dirinya dalam bahaya, Tirta
segera meninggalkan pesta itu untuk melarikan diri. Tuan Ruys dan Bek
Kemayoran bersama para opas segera mengejarnya. Asni dan Mirah turut
melakukan pengejaran. Tirta berhasil dikejar sehingga terjadilah perkelahian
antara Tirta melawan Asni dan Mirah. Begitu Tirta lengah, Tuan Ruys melepaskan
tembakan ke arah Tirta dan tepat mengenai dada kanannya. Tak ayal, pendekar
silat dari Karawang itu langsung roboh. Sebelum menghembuskan nafas terakhir,
ia sempat berpesan kepada Asni.
“Ketahuilah, Asni! Sebenarnya kita
bersaudara, namun lain ibu. Beruntunglah kamu mendapatkan Mirah. Ia gadis yang
cantik dan baik hati. Tolong jagalah dia baik-baik!” ungkap Tirta.
Betapa terkejutnya Asni mendengar
pengakuan Tirta. Ia pun berusaha mengobati luka saudaranya itu. Namun, nyawa
Tirta sudah tidak tertolong lagi. Asni pun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali
menyesali semua perbuatan jahat yang telah dilakukan saudaranya itu.
Setelah peristiwa itu, Kemayoran dan
Marunda kembali aman. Asni pun memboyong istrinya ke Kemayoran untuk membuka
usaha dagang. Berkat kegigihan dan keuletannya, usaha mereka pun maju pesat dan
mereka pun hidup berbahagia.
* * *
Demikian cerita Asni
dan Mirah dari daerah Betawi atau yang sekarang kita kenal sebagai Jakarta.
Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu
keutamaan gemar berbuat baik dan akibat buruk dari sifat suka berbuat jahat.
Sifat yang pertama terlihat pada sikap dan perilaku Asni. Ketika hendak
membantu para petugas untuk menangkap perampok, ia justru mendapatkan Mirah.
Sementara itu, sifat yang kedua terlihat pada sikap Tirta. Akibat perilaku
jahatnya itu, Tirta tewas terkena peluru Tuan Ruys.
(Samsuni/sas/224/01-11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar