Ketua
Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengaku sangat prihatin dengan sejumlah
peristiwa hukum yang belakangan menurutnya telah dan sering menyinggung
rasa keadilan masyarakat.
Hal itu terutama terjadi ketika aparat penegak hukum berhadapan dengan para pelanggar hukum dari kalangan masyarakat kelas bawah dan miskin. Hukum seolah diterapkan dan diterjemahkan serta-merta seperti tertulis.
Sementara itu, kepada para pelanggar hukum yang berasal dari kalangan mampu, baik secara finansial maupun terkait aksesnya terhadap kekuasaan, aparat penegak hukum tidak melakukan hal serupa dan bahkan mengatur sedemikian rupa agar hukum bisa lebih menguntungkan bagi para pelanggar jenis itu.
Keprihatinan itu dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Minggu (14/2/2010), saat hadir dan menjadi pembicara utama dalam pengukuhan dirinya sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA UII).
Dia lebih lanjut mendesak para aparat penegak hukum lebih mendahulukan kebenaran substantif dalam menegakkan hukum atau memutus suatu perkara. Hukum kita saat ini memang tengah mengalami persoalan besar, terutama ketika aparat langsung memberlakukan bunyi hukum secara formal kepada orang-orang kecil yang berurusan dengan hukum.
"Jadi seorang nenek yang dilaporkan mencuri tiga buah kakao bisa langsung ditangkap dan diproses sampai ke tingkat pengadilan," ujar Mahfud.
Namun sayangnya, jika pelaku berasal dari orang mampu atau memiliki akses ke kekuasaan, maka unsur-unsur dalam aturan undang-undang disamarkan atau dicari-cari aturan yang seakan-akan membenarkan perbuatan kriminal tadi.
Akibatnya terjadilah banyak kasus yang dinilai sangat memprihatinkan seperti ketika seorang pengendara motor ditangkap dan diadili karena dianggap lalai sehingga menyebabkan kematian istrinya, sementara mereka sendiri adalah korban peristiwa kecelakaan atau tabrak lari atau sejumlah peristiwa lain yang intinya sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
"Rasa keadilan masyarakat menjadi sangat terluka, apalagi melihat kasus-kasus besar yang jelas-jelas pelakunya ada dan keuangan negara dibobol, tetapi malah para penegak hukum sibuk bicara soal unsur-unsur hukum formal yang katanya belum terpenuhi sehingga kasus-kasus besar itu tidak kunjung selesai," ungkap Mahfud.
Dia lebih lanjut menambahkan, di MK, pihaknya beserta para hakim konstitusi lain mencoba menerapkan prinsip keadilan substantif yang didasari pada bisikan hati nurani dan disesuaikan dengan fakta di lapangan.
Dengan begitu mereka berani, bahkan untuk melanggar aturan UU, jika hal itu diperlukan untuk memperoleh kebenaran substantif. Mahfud menambahkan, hakim dan penegak hukum dapat menerapkan itu semua hanya jika mereka berani dan mampu melepaskan diri dari bunyi aturan atau pasal formal yang ada.
Mereka harus berani bertanya ke hati nurani mereka sendiri mengingat hal itulah yang menjadi sumber dari keadilan hukum. "Sekarang hukum telah lepas dari akarnya itu," ujar Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud menegaskan bahwa langkah perbaikan secara signifikan seperti itu hanya bisa dilakukan dan dimulai dengan terlebih dahulu didukung oleh seorang figur yang memiliki kepemimpinan yang kuat, dalam hal ini Presiden.
Menurut Mahfud, tidak boleh lagi seorang presiden melempar tanggung jawab saat terjadi satu peristiwa dengan berdalih menyerahkan penanganan perkara hukum sepenuhnya kepada aparat penegak hukum bawahannya.
"Presiden enggak boleh lagi bilang tidak mau ikut campur dalam penegakan hukum lantas mempersilakan aparat bawahannya bekerja tanpa diintervensi. Menurut saya, kepemimpinan nasional juga harus ikut bertanggung jawab atas upaya penegakan hukum. Intervensi tidak masalah. Saat Presiden Yudhoyono turut campur dalam kasus Cicak dan Buaya, masyarakat justru mendukung," ujar Mahfud.
Hal itu terutama terjadi ketika aparat penegak hukum berhadapan dengan para pelanggar hukum dari kalangan masyarakat kelas bawah dan miskin. Hukum seolah diterapkan dan diterjemahkan serta-merta seperti tertulis.
Sementara itu, kepada para pelanggar hukum yang berasal dari kalangan mampu, baik secara finansial maupun terkait aksesnya terhadap kekuasaan, aparat penegak hukum tidak melakukan hal serupa dan bahkan mengatur sedemikian rupa agar hukum bisa lebih menguntungkan bagi para pelanggar jenis itu.
Keprihatinan itu dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Minggu (14/2/2010), saat hadir dan menjadi pembicara utama dalam pengukuhan dirinya sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA UII).
Dia lebih lanjut mendesak para aparat penegak hukum lebih mendahulukan kebenaran substantif dalam menegakkan hukum atau memutus suatu perkara. Hukum kita saat ini memang tengah mengalami persoalan besar, terutama ketika aparat langsung memberlakukan bunyi hukum secara formal kepada orang-orang kecil yang berurusan dengan hukum.
"Jadi seorang nenek yang dilaporkan mencuri tiga buah kakao bisa langsung ditangkap dan diproses sampai ke tingkat pengadilan," ujar Mahfud.
Namun sayangnya, jika pelaku berasal dari orang mampu atau memiliki akses ke kekuasaan, maka unsur-unsur dalam aturan undang-undang disamarkan atau dicari-cari aturan yang seakan-akan membenarkan perbuatan kriminal tadi.
Akibatnya terjadilah banyak kasus yang dinilai sangat memprihatinkan seperti ketika seorang pengendara motor ditangkap dan diadili karena dianggap lalai sehingga menyebabkan kematian istrinya, sementara mereka sendiri adalah korban peristiwa kecelakaan atau tabrak lari atau sejumlah peristiwa lain yang intinya sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
"Rasa keadilan masyarakat menjadi sangat terluka, apalagi melihat kasus-kasus besar yang jelas-jelas pelakunya ada dan keuangan negara dibobol, tetapi malah para penegak hukum sibuk bicara soal unsur-unsur hukum formal yang katanya belum terpenuhi sehingga kasus-kasus besar itu tidak kunjung selesai," ungkap Mahfud.
Dia lebih lanjut menambahkan, di MK, pihaknya beserta para hakim konstitusi lain mencoba menerapkan prinsip keadilan substantif yang didasari pada bisikan hati nurani dan disesuaikan dengan fakta di lapangan.
Dengan begitu mereka berani, bahkan untuk melanggar aturan UU, jika hal itu diperlukan untuk memperoleh kebenaran substantif. Mahfud menambahkan, hakim dan penegak hukum dapat menerapkan itu semua hanya jika mereka berani dan mampu melepaskan diri dari bunyi aturan atau pasal formal yang ada.
Mereka harus berani bertanya ke hati nurani mereka sendiri mengingat hal itulah yang menjadi sumber dari keadilan hukum. "Sekarang hukum telah lepas dari akarnya itu," ujar Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud menegaskan bahwa langkah perbaikan secara signifikan seperti itu hanya bisa dilakukan dan dimulai dengan terlebih dahulu didukung oleh seorang figur yang memiliki kepemimpinan yang kuat, dalam hal ini Presiden.
Menurut Mahfud, tidak boleh lagi seorang presiden melempar tanggung jawab saat terjadi satu peristiwa dengan berdalih menyerahkan penanganan perkara hukum sepenuhnya kepada aparat penegak hukum bawahannya.
"Presiden enggak boleh lagi bilang tidak mau ikut campur dalam penegakan hukum lantas mempersilakan aparat bawahannya bekerja tanpa diintervensi. Menurut saya, kepemimpinan nasional juga harus ikut bertanggung jawab atas upaya penegakan hukum. Intervensi tidak masalah. Saat Presiden Yudhoyono turut campur dalam kasus Cicak dan Buaya, masyarakat justru mendukung," ujar Mahfud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar